Sahabat berbagi

Pondok Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan

Kang Ogud - Kang ogud lovers pada kesempatn ini kita akan mengkaji tentang Pondok Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan. Sebagai suatu lembaga pendidikan Islam, pesantren dari sudut historis kultural dapat dikatakan sebagai “training center” yang otomatis menjadi “cultural central” Islam yang disahkan atau dilembagakan oleh masyarakat, setidak-tidaknya oleh masyarakat Islam sendiri yang secara defacto tidak dapat diabaikan oleh pemerintah.1 Pondok pesantren memiliki model-model pengajaran yang bersifat non klasikal, yaitu model sistem pendidikan dengan metode pengajaran wetonan, yaitu metode yang didalamnya terdapat seorang kyai yang membaca kitab dalam waktu tertentu, sedangkan santrinya membawa kitab yang sama, lalu santri mendengarkan dan menyimak bacaan kyai. Dan sorogan,yaitu santri yang cukup pandai men “sorog” kan (mengajukan) sebuah kitab kepada kyai untuk dibaca dihadapannya, kesalahan dalam membaca itu langsung dibenarkan oleh kyai.2

Berawal dari bentuk pengajian yang sangat sederhana, pada akhirnya pesantren berkembang menjadi lembaga pendidikan secara reguler dan diikuti oleh masyarakat, dalam pengertian memberi pelajaran secara material maupun immaterial, yakni mengajarkan bacaan kitab-kitab yang ditulis oleh ulama-ulama abad pertengahan dalam wujud kitab kuning. Titik tekan pola pendidikan secara material, diharapkan setiap santri mampu menghatamkan kitab-kitab kuning sesuai dengan target yang di harapkan, yakni membaca seluruh isi kitab yang diajarkan. Sedangkan pendidikan dalam arti immaterial cenderung berbentuk suatu upaya perubahan sikap santri, agar santri menjadi pribadi yang tangguh dalam kehidupan sehari-hari. Atau dengan kata lain mengantarkan anak didik menjadi dewasa secara psikologis.3

Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan yang mempunyai tujuan yang tidak jauh berbeda dengan pendidikan agama Islam yakni mencapai akhlak yang sempurna atau mendidik budi pekerti dan jiwa. Maksud mencapai akhlak yang sempurna yakni dapat digambarkan pada terciptanya pribadi muslim yang mempunyai indikator iman, taqwa, ta’at menjalankan ibadah, berakhlak mulia dan dewasa secara jasmani dan rohani, serta berusaha untuk hidup sesuai dengan ajaran Islam.

Pondok Pesantren Sebagai Lembaga Dakwah
Pengertian sebagai lembaga dakwah, melihat kiprah pesantren dalam kegiatan dakwah dikalangan masyarakat, dalam arti kata melakukan suatu aktifitas menumbuhkan kesadaran beragama atau melaksanakan ajaran-ajaran agama secara konsekuen sebagai pemeluk agama Islam.4
Sebagaimana kita ketahui bahwa semenjak berdirinya pesanten merupakan pusat penyebaran agama Islam baik dalam masalah aqidah, atau syari’ah di Indonesia. Fungsi pesantren sebagai penyiaran agama (lembaga dakwah) terlihat dari elemen pondok pesantren itu sendiri yakni masjid pesantren, yang dalam operasionalnya juga berfungsi sebagai masjid umum, yaitu sebagai tempat belajar agama dan ibadah masyarakat umum. Masjid pesantren sering dipakai masyarakat umum untuk menyelenggarakan majelis ta’lim (pengajian) diskusi-diskusi keagamaan dan lain sebagainya.5

Pondok Pesantren Sebagai Lembaga Sosial
Sebagai lembaga sosial, pesantren menampung anak dari segala lapisan masyarakat muslim tanpa membeda- bedakan tingkat sosial ekonomi orang tuanya. Biaya hidup di pesantren relatif lebih murah dari pada di luar pesantren, sebab biasanya para santri mencukupi kebutuhan sehari- harinya dengan jalan patungan atau masak bersama, bahkan ada diantara mereka yang gratis, terutama bagi anak-anak yang kurang mampu atau yatim piatu. Sebagai lembaga sosial, pesanten ditandai dengan adanya kesibukan akan kedatangan para tamu dari masyarakat, kedatangan mereka adalah untuk bersilaturahim, berkonsultasi, minta nasihat “doa”, berobat, dan minta ijazah yaitu semacam jimat untuk menangkal gangguan dan lain sebagainya.6
Tugas kemasyarakatan pesantren sebenarnya tidak mengurangi arti tugas keagamaannya, karena dapat berupa penjabaran nilai-nilai hidup keagamaan bagi kemaslahatan masyarakat luas. Dengan fungsi sosial ini, pesantren diharapkan peka dan menanggapi persoalan-persoalan kemasyarakatan, seperti: memlihara tali persaudaraan memberantas kebodohan dan sebagainya.7

Potensi Pondok Pesantren
Pesantren didefinisikan sebagai suatu tempat pendidikan dan pengajaran yang menekankan pelajaran agama Islam dan didukung asrama sebagai tempat tinggal santri yang bersifat permanen.8 Dari pengertian diatas dapat diambil kesimpulan mengenai pengertian potensi pondok pesantren yaitu suatu kemampuan yang dimiliki oleh pondok pesantren yang mempunyai kemungkinan untuk bisa dikembangkan.
Pada dasarnya potensi di pondok pesantren ini mempunyai tujuan unutk proses pembinaan dan pengembangan untuk mencapai visi misi di pondok pesantren, salah satu potensi di pondok pesantern adalah masalah ekonomi. Masyarakat pesantren dihadapkan pada upaya peningkatan taraf hidup dan ksejehateraan masyarakat dalam bentuk kegiatan usaha bersama. Selain itu juga terdapat potensi-potensi lain di pondok pesantren diantaranya yaitu :

Kemandirian.
Ajaran  atau   didikan   yang  utama  didalam   pondok
pesantren ialah  dalam bahasa belanda Zelp Help, tidak mengantungkan diri sendiri kepada orang lain. Dengan kata lain belajar mencukupi atau menolong diri sendiri. Santri-santri yang terdidik menolong diri sendiri dapat menghadapi masa depan dengan penuh harapan, jalan hidup terbentang luas didepan mereka. Sebaliknya, santri-santri yang tidak percaya pada dirinya sendiri, dia senantiasa merasa was-wasdan ragu-ragu, serta tidak akan mendapat kepercayaan dari masyarakat, sedang dia sendiri tidak percaya diriny sendiri.

Kebebasan.
Para santri diberi kebebasan untuk memilih jalan hidup kelak di tengah masyarakat. Mereka bebas menentukan masa depannya dengan berbekal jiwa yang besar dan optimism yang mereka dapatkan selama ditempa di pondok pesantren selama hal itu masih dianggap sejalan dengan nilai-nilai pendidikan yang mereka dapatkan di pondok peasntren.9

Ikhlas Kehidupan di Pondok pesantren selalu di jiwai oleh suasana keikhlasan, yang merupakan salah satu ciri khas di Pondok pesantren. Ikhlas merupakan sesuatu yang bersifat intrinsik dan esensial bagi para nabi dan pewaris para nabi serta merupakan sumber kekuatan mereka. Ikhlas dapat di tafsirkan dengan kejujuran, ketulusan dan kemurnian. Seseorang yang berhati ikhlas dalam beramal dan beribadah maka ia akan memiliki kemurnian niat, keterusterangan dalam pikiran, tidak mencari pamrih duniawi dalam hubungannya dengan Allah dan taat dalam pengabdian-Nya10

Pejuang
Perjuangan pesantren dalam mengusir penjajah tak perlu banyak diuraikan lagi. Pada zaman Belanda, dengan dilandasi iman dan demi menegakkan kebenaran dan keadilan, hampir semua pesantren bangkit mengangkat senjatauntuk menantnag penjajah. Para kyai dan santri-santrinya keluar untuk melawan belanda. Maka sejarah mengukir dengan tinta emas, para pahlawan nasional dari kalangan pesantren. Begitu pula pada masa pendudukan Jepang. Kembali pesantren menjadi saksi atas heroism kyai dan santrinya dalam melancarkan pemberontakkan mengusir jepang.
Semangat para santri yang demikian besar untuk berjuang disebabkan adanya keinginan mati syahid dalam rangka membela agam dan doktrin yang kuat dari pesantren bahwa cinta dan bela Negara termasuk bagian dari iman. Siapun yang mengaku beriman, maka sebagai tandanya dia harus ikut berperang. Dalam kondisi mendesak, perang bahkan harus diprioritaskan dari ibadah-ibadah lain.11

Tasamuh
Sikap Tasamuh merupakan salah satu potensi yang dimiliki oleh pondok pesantren dikarenakan, Pesantren merupakan sebuah miniatur masyarakat yang terdiri dari berbagai suku-suku, adat istiadat dan budaya yang mereka semua berkumpul dalam sebuah pesantren, santri-santrinya tidak hanya berasal dari daerah tertentu saja, melainkan berasal dari berbagai daerah bahkan ada pula dari berbagai bangsa. Kondisi kehidupan yang seperti inilah yang menuntut para santri agar memiliki kemampuan bertoleransi yang baik dengan orang yang memiliki kultur dan karakteristik yang berbeda-beda. Kemampuan inilah yang akan menjadi modal penting bagi para santri ketika terjun dalam masyarakat untuk memastikan terciptanya kehidupan yang damai dan rukun yang sesungguhnya kelak.12

REFERENSI
1 Djamaluddin, & Abdullah Aly, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1998) hlm 97.
2 Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia,(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999).hlm. 26
3 M.Bahri Ghazali, Pesantren Berwawasan Lingkungan, (Jakarta: Prasasti, 2003) hlm.36-37
4 M.Bahri Ghazali, Pesantren Berwawasan Lingkungan, (Jakarta: Prasasti, 2003) hlm 38
5 Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta: INIS, 1994), hlm 61
6 Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren,.... hlm 60
7 M. Dawam Raharjo, Pergulatan Dunia pesantren, (Jakarta: P3M, 1985) hlm 17
8 Mujamil Qomar, Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi, (Jakarta : Erlangga, 2005) hlm 2
9 Abd. Halim Soebahar, Kebijakan Pendidikan Islam: Dari Ordonasi Guru sampai UU Sisdiknas, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013) hlm. 42-43
10 Syamsul Ma’arif, Pesantren Inklusif Berbasis Kearifan Lokal, (Yogyakarta: Kaukaba Dipantara, 2015) hlm 215
11 Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren Pendidikan Alternatif Masa Depan : (Jakarta : Gema Insani Press, 1997,) hlm 91

Pengertian Kompetensi Profesional Guru

Kang Ogud - kang ogud lovers pada kesempatan ini kita akan mengkaji  tentang Pengertian Kompetensi Profesional Guru. 
Proses pengajaran tidak akan lepas dari masalah kependidikan guru sebagai tenaga profesional akan lebih tepat kalau di ketahui terlebih dahulu mengenai maksud kata profesi. Secara umum profesi diartikan sebagai suatu pekerjaan yang memerlukan pendidikan lanjut di dalam science dan teknologi yang digunakan sebagai perangkat dasar untuk di implementasikan dalam berbagai kegiatan yang manfaat.
Sebagai pekerja profesional atau guru harus memiliki persepsi filosofis dan ketanggapan bijaksana yang lebih mantap dalam menyikapi dan melaksanakan pekerjaannya. Kalau kompetensi seorang teknisi lebih bersifat mekanik, dalam arti sangat mementingkan kecermatan, sedang kompetensi seorang guru sebagai tenaga profesional kependidikan yang ditandai dengan serentetan diaknosa, rediaknosa, dan penyesuaian yang terus menerus.
Sehubungan dengan profesional seseorang, Wolmer dan Mills mengemukakan bahwa pekerjaan itu baru dikatakan sebagai suatu profesi, apabila memenuhi kriteria atau ukuran. Ukuran sebagai berikut :
a.    Memiliki  spesialis dengan latar belakang teori yang luas, maksudnya :
1)    Memiliki pengetahuan umum yang luas.
2)    Memiliki keahlian khusus yang mendalam.
b.    Merupakan karier yang dibina secara organisatoris, maksudanya :
1)    Adanya keterikatan dalam suatu organisasi profesional.
2)    Memiliki otonomi jabatan.
3)    Memiliki kode etik jabatan.
4)    Merupakan karya bakti seumur hidup.
c.    Diakui masyarakat sebagai pekerjaan yang mempunyai status profesional, maksudnya :
1)    Memperoleh dukungan masyarakat.
2)    Mendapat pengesahan dan perlindungan hukum.
3)    Memiliki persyaratan kerja yang sehat.
4)    Memiliki jaminan hidup yang layak.[1]

Guru sebagai jabatan profesional memerlukan keahlian khusus, karena profesional antara lain fisik, psikis, moral dan intelektual. Lebih jelasnya Oemar Hamalik menjelaskan :
a.    Persyaratan fisik, yaitu kesehatan jasmani yang artinya seorang guru harus berbadan sehat dan tidak mempunyai penyakit menular dan membahayakan.
b.    Persyaratan psikis, yaitu rohaninya harus sehat berarti tidak mengalami gangguan jiwa atau kelainan.
c.    Persyaratan mental, yaitu memiliki sikap mental yang baik terhadap profesi kependidikan mencintai dan mengabdi serta memiliki sikap susila yang tinggi pada tugas dan jabatannya.
d.    Persyaratan moral, yaitu memiliki budi pekerti yang luhur dan memiliki dedikasi yang tinggi.
e.    Persyaratan intelektual, yaitu memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang tinggi, yang diperoleh dari lembaha pendidikan yang memberikan bekal guru menunaikan tugas dan kewibawaannya sebagai pendidik.[2]

Profesi di sini erat hubungannya dengan jabatan atau pekerjaan tertentu yang dengan sendirinya menurut keahlian pengetahuan dan ketrampilan tertentu pula. Dalam pengertian profesi telah tersirat adanya suatu keharusan kompetensi agar profesi itu berfungsi dengan sebaik-baiknya, karena kompetensi sangat diperlukan untuk melaksanakan fungsi profesi.
Pandangan seperti tersebut di atas belum di nilai menghubungkan dengan berbagai pertimbangan, dan hendaknya profesi guru dilihat dalam hubungan yang lebih luas. Ada rekomendasi di kemukakan sebagai berikut :

“Peranan pendidikan harus di lihat dalam konteks pembangunan secara menyeluruh, yang bertujuan membentuk manusia sesuai cita-cita bangsa. Pembangunan tidak mungkin berhasil jika tidak melibatkan manusianya sebagai pelaku sekaligus sebagai tujuan pembangunan. Untuk menyukseskan pembangunan perlu di tata suatu sistem pendidikan yang relevan. Sistem pendidikan ini dirancang dan dilaksanakan oleh orang yang ahli dalam bidangnya, tanpa keahlian yang memadai, yang di tandai oleh kompetensi yang menjadi persyaratan, maka pendidikan sulit berhasil. Keahlian yang dimiliki tenaga kependidikan, tidak di miliki oleh warga masyarakat pada umumnya, melainkan hanya di miliki oleh orang-orang tertentu yang telah mengalami pendidikan guru secara sistematika dan berencana”.[3]

Pada dasarnya suatu profesi adalah suatu janji yang memiliki nilai-nilai etis yang mengandung unsur pengabdian pada masyarakat, melalui suatu pekerjaan tertentu yang menurut tingkat keahlian tertentu pula. Meskipun masalah profesionalisasi sampai sekarang masih sering dipertanyakan orang, namun sudah terdapat kriteria-kriteria yang jelas, seperti yang disebutkan oleh Oemar Hamalik, ada beberapa kriteria profesional, yaitu :

a.    Fisik, maksudanya :
1)    Sehat jasmani dan rohani.
2)    Tidak mempunyai cacat tubuh yang bisa menimbulkan ejekan atau rasa kasih sayang dari siswa.
b.    Mental atau kepribadian, maksudnya :
1)    Berjiwa kreatif, dapat memanfaatkan pendidikan ada secara maksimal.
2)    Bersifat terbuka, peka dan inovatif.
3)    Menunjukkan rasa cinta pada profesinya.
c.    Keilmiahan atau pengetahuan, maksudnya :
1)    Memahami ilmu yang dapat melandasi pembentukan pribadi pendidikan / pengajaran yang demokratis.
2)    Memahami ilmu pendidikan dan keguruan dan mampu menerapkannya dalam mendidik.
3)    Memahami, menguasai serta mencintai ilmu pengetahuan yang akan diajarkan.
d.    Ketrampilan, maksudnya :
1)    Mau berperan sebagai organisator proses belajar mengajar.
2)    Mampu menyusun bahan pelajaran atas dasar pendekatan struktural, interdisipliner, fungsional, behavior, dan teknologi.
3)    Mampu menyusun garis program pengajaran.[4]

Jadi tugas guru tidak hanya terbatas pada mengajar di kelas saja, melainkan guru di samping mempunyai tugas mengajar berperan juga sebagai pendidik. Di mana tugas dari pendidik adalah bertanggung jawab dalam membina anak untuk mencapai kedewasaannya.
Drs. Ahmadi mengemukakan bahwa pendidik adalah “seorang yang memberi atau melaksanakan tugas mendidik, yaitu secara sadar, bertanggung jawab dalam membimbing anak untuk mencapai kedewasaannya.[5]



[1]  Sardiman A.M., Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, Rajawali Press, Jakarta, 1987, hal. 131-132

[2]  Cece Wijaya dan A. Tabrani Rusyan, Kemampuan Dasar Guru dalam Proses Belajar Mengajar, Remaja Roesda Karya, Bandung, t.t., hal. 6

[3]  Oemar Hamalik, Pendidikan Guru Konsep dan Strategi, Mandar Maju, Bandung, 1991, hal. 6

[4]  Oemar Hamilik, Ibid., hal. 41-42
[5]  Ahmadi, Ilmu Pendidikan, CV. Saudara, Salatiga, 1984, hal. 68

Keterampilan Manajemen Sekolah

Kangogud.com - sahabat pada kesempatan kali ini kita akan mengkaji tentang Keterampilan Manajemen Sekolah. berikut selengkapnya 
   1.   Pengertian Keterampilan Manajemen Sekolah
Manajemen di bidang pendidikan dapat disamakan dengan administrasi sekolah atau kepala sekolah. Seorang kepala sekolah tidak hanya bertanggung jawab atas kelancaran jalannya sekolah atau teknis akademis saja, melainkan semua kegiatan. Sebagai kepala sekolah tugas pokoknya adalah memimpin dan mengelola guru dan staf lainya untuk bekerja sebaik-baiknya demi mencapai tujuan sekolah.[1]
Terdapat beberapa pendapat mengenai arti mengelola sekolah diantaranya adalah :
1.   Menurut depdiknas menyatakan :
Mengelola sekolah adalah : mengatur agar seluruh potensi sekolah berfungsi secara optimal dalam mendukung tercapainya tujuan sekolah.[2]
2.   Menurut Agus Subardi mengatakan :
Manajer adalah : orang yang berkewajiban mengelola dan mengatur organisasi untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dengan bantuan orang lain.[3]

2.   Tingkat Manajer
Menurut Hasibuan, pada dasarnya tugas manajer pada semua tingkat itu sama dalam proses manajemen yakni memberi semua fungsi manajemen dengan baik supaya tujuan optimal dapat dicapai.[4]
Tingkat manajer dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian, yaitu:
A.   Manajer puncak (Top manager)
Adalah : pimpinan tertinggi dari suatu perusahaan, yang termasuk dalam golongan ini adalah : Direktur Utama dan Dewan Komisaris.
Corak bagian top manager adalah memimpin organisasi, menentka tujuan serta berbagai kebijakan pokok.[5]
B.   Manajer menengah (Middle manager)
Adalah pemimpin menengah dari suatu perusahaan, yang termasuk golongan ini adalah : Kepala Densi, Kepala Unit, Kepala Bagian, Pimpinan Cabang.
Corak kegiatan middle manager adalah meimpin dan menguraikan kebijaksanaan pokok yang dikeluarkan top manager.[6]
C.   Manajer terendah (Lower manager)
Adalah : pempimpin terendah yang secara langsung memimpin, mengarahkan dan mengawasi para karyawan pelaksana (operasional) dalam mengerjakan tugas-tugasnya supaya tujuan-tujuan perusahaan tercapai.[7]

3.   Pelaksanaan Keterampilan Manajemen Sekolah
Kegiatan manajemen seorang kepala sekolah meliputi beberapa kategori diantaranya :
1.    Interpersonal, yaitu kepala sekolah menjalankan fungsi sebagai figur, pemimpin / juru runding.
2.    Informational, yaitu kepala sekolah menjalankan fungsi sebagai pemantau, penyebar dan perantara.
3.    Diasional, yaitu kepala sekolah menjalankan fungsi sebagai wiraswastawan, pengalokasi sumber-sumber dan negosiator.[8]
Dalam organisasi sekolah keterampilan manajemen sekolah berarti kemampuan kepala sekolah dalam melaksanakan tugas berdasarkan kompetensi yang dimiliki oleh kepala sekolah tersebut.
Sedangkan proses pengelolaan sekolah mencakup 5 tahapan yaitu :
1.    Perencanaan (Planning)
Perencanaan adalah : proses penentuan tujuan yang hendak dicapai untuk menetapkan jalan dan sumber yang diperlukan untuk mencapai tujuan seefisien dan seefektif mungkin.
2.    Pengorganisasian
Pengorganisasian di sekolah dapat didefinisikan sebagai keseluruhan proses untuk memilih guru dan personal-personal sekolah lainnya serta mengalokasikan sarana dan prasarana untuk menunjang tugas-tugas dalam mencapai tujuan sekolah.
3.    Pengerahan (directing)
Pengerahan merupakan suatu usaha untuk memberikan penjelasan, petunjuk serta pertimbangan dan bimbingan terhadap para petugas yang terlibat, baik secara struktural maupun fungsional agar pelaksanaan tugas dapat berjalan dengan lancar.
4.    Pengawasan (controling)
Pengawasan adalah salah satu kegiatan untuk mengetahui realisasi perilaku personil dalam organisasi pendidikan untuk mengetahui tingkat pencapaian serta tujuan pendidikan sesuai dengan yang dikehendaki.
5.    Perkoordinasian (cordinating)
Pengkoordinasian adalah kegiatan menghubungkan orang dalam suatu kelembagaan dan mencegah timbulnya pertentangan.



[1] M. Daryanto, Administrasi Pendidikan, Rineka Cipta, Jakarta, 1998, hal. 2
[2] Departemen Pendidikan Nasional, Manajemen Sekolah, Jakarta, 2005, hal. 3
[3] Agus Subardi, Manajemen Pengantar, Edisi Revisi, Desain STIE YKPN, Jogjakarta, hal. 10
[4] Hasibuan, Manajemen, Dasar, Pengertian dan Masalah, Gunung Agung, Jakarta, 2001, hal. 45
[5] M.T. Hani Handoko, Manajemen Edisi 2, Dosen Fakultas Ekonomi UGM, Yogyakarta, hal. 18
[6] Ibid, hal. 18
[7] Ibid, hal. 18
[8] Sudarwan Darim, Inovasi Pendidikan, Pustaka Setia, Bandung, hal. 137 

Pengertian Kecerdasan Emosional


Pengertian Kecerdasan Emosional
Kangogud.com - sahabat kangogud.com pada kesempatan ini kita akan mengkaji tentang Pengertian Kecerdasan Emosional Kecerdasan emosi semula diperkenalkan oleh Peter Salovey dari Universitas Harvad dan John Mayer dai Universitas Hampshire.  Istilah itu kemudian dipopulerkan oleh Daniel Goleman dalam karya monumentalnya Emotional Intelligence.44
Secara etimologi kecerdasan berasal dari bahasa Inggris intelligence yaitu kemampuan untuk memahami keterkaitan antara berbagai hal, kemampuan untuk mencipta, memperbaharui, mengajar, berfikir, memahami, mengingat, merasakan dan berimajinasi, memecahkan permasalahan dan kemampuan untuk  mengerjakan berbagai tingkat kesulitan.45
Patricia Patton mendefinisikan emosi sebagai keadaan yang berlangsung lebih mendalam yang menggerakkan kita atau memperingatkan kita apakah kita sadar tentang itu atau  tidak.46 Kemudian bisa dikatakan sebagai setiap kegiatan atau  pergolakan pikiran, perasaan, nafsu dari setiap keadaan mental yang hebat atau meluap-luap.47
Rochelle Semmel Albin mendefinisikan Emosi sebagai perasaan yang kita alami. Kita menyebut berbagai emosi yang muncul dalam diri kita dengan berbagai nama seperti sedih, gembira, kecewa, semangat, marah, benci, cinta. Sebutan yang kita berikan kepada perasaan tertentu, mempengaruhi bagaimana kita berpikir mengenai perasaan itu, dan bagaimana kita bertindak. Umpamanya, seorang ibu yang merasa sedih bertingkah laku lain daripada seorang wanita yang merasa gembira.48
Para pakar psikologi telah mendefinisikan kecerdasan emosional dalam bermacam-macam, diantaranya yaitu menurut:
1)   Reuven Bar-On yang dikutip Steven J. Stein dan Howard E. Book Kecerdasan emosional adalah “serangkaian kemampuan,
kompetensi, dan kecakapan non-kognitif, yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil mengatasi  tuntutan  dan  tekanan lingkungan.”49
2)  John D Mayer, Peter Salovey
“Emotional Intelligence is the innate potential to feel, use, communicate, recognize, remember, learn, manage, and understand emotions.”50 Kecerdasan emosional menunjuk pada potensi alamiah untuk merasa, menggunakan, mengkomunikasikan, mengenal, mengingat, mempelajari, mengatur dan memahami emosi-emosi.
3)  Ary Ginanjar Agustian
Kecerdasan emosional adalah: kemampuan merasakan, memahami, dan secara efektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi, koneksi, dan pengaruh yang manusiawi.51
                 1)     Steven J. Stein
Kecerdasan emosional adalah serangkaian kecakapan yang memungkinkan kita melapangkan jalan di dunia yang rumit-aspek pribadi, sosial, dan pertahanan dari seluruh kecerdasan, akal sehat yang penuh misteri, dan kepekaan yang penting untuk berfungsi  secara efektif setiap hari. Dalam bahasa sehari-hari, kecerdasan emosional biasanya kita sebut sebagai “stret smart (pintar)”, atau kemampuan khusus yang kita sebut “akal sehat”. Ini terkait dengan kemampuan membaca lingkungan politik dan sosial, dan menatanya kembali; kemampuan memahami dengan spontan  apa  yang diinginkan dan dibutuhkan orang lain, kelebihan dan kekurangan mereka; kemampuan untuk tidak terpengaruh oleh tekanan; dan kemampuan untuk menjadi orang yang menyenangkan, yang kehadirannya didambakan orang lain.52
2)   Daniel Goleman
Dalam bukunya yang berjudul Emotional Intelligence, Why It Can Matter More Than IQ menyebutkan bahwa, kecerdasan  emosional adalah kemampuan-kemampuan seperti kemampuan memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi, mengendalikan dorongan hati dan tidak melebihi batas, mengatur suasana hati agar beban stres tidak melumpuhkan  kemampuan berfikir, berempati dan berdo’a.53
Dari beberapa definisi diatas dapat diambil kesimpulan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan menuntut diri untuk belajar mengakui dan menghargai perasaan diri sendiri dan orang  lain  dan  untuk menanggapinya dengan tepat. Merupakan kemampuan seseorang untuk mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain (empati) dan kemampuan untuk membina hubungan dengan orang lain (keterampilan sosial). Hal ini menyiratkan bahwa emosi bisa menjadi cerdas. Emosi yang cerdas inilah  yang  disebut kecerdasan emosional.
Ada banyak sekali definisi tentang  kecerdasan  emosional. Namun apapun definisinya, yang jelas kecerdasan emosional mengandung dua kata yang luar biasa yakni: ‘cerdas’ dan  ‘emosi’.  Kedua kata inilah yang mendorong riset puluhan tahun dibidang neuroscience (ilmu tentang syaraf) yang  akhirnya  menyimpulkan  begini: pada intinya, kemampuan berfikir anda mempengaruhi emosi anda, demikian pula sebaliknya, emosi anda  pun  mempengaruhi  kualitas pikir anda. Untuk mudahnya, saya beri gambaran, anda cerdas secara emosional bila nalar anda sanggup mengarahkan ekspresi emosi anda.
Kecerdasan emosi melatih intuisi kita untuk ‘melihat’ dunia dengan cara yang berbeda. Kadang kala interaksi sosial dengan orang lainlah yang membuat kita dapat melihat hal lain  dengan  kaca  mata yang berbeda. Menarik bukan untuk mendalami bagaimana emosi menuntun kita untuk menjadi cerdas. Menentukan  pilihan  yang  tepat dan yang pasti akan membantu banyak orang karena cara berfikir yang dikembangkan oleh emosi bukanlah berfikir dengan hanya satu sisi  saja.54 Tanpa kesadaran akan emosi, tanpa  kemampuan  untuk  mengenali dan menilai perasaan serta bertindak jujur menurut perasaan tersebut, kita tidak dapat bergaul dengan baik dengan orang lain, tidak
dapat melanjutkan hidup di dunia (meskipun  kita  sangat  “cerdas”),  tidak dapat membuat keputusan dengan mudah, dan sering terombang- ambing tidak menyadari diri sendiri.55
Kecerdasan emosional sangat  dipengaruhi  oleh  lingkungan, tidak bersifat menetap, dapat berubah-ubah setiap saat. Untuk  itu  peranan lingkungan terutama orang tua pada masa kanak-kanak sangat mempengaruhi dalam pembentukan kecerdasan emosional.56
a.      Unsur-unsur Kecerdasan Emosional
Sementara para pakar teori kecerdasan emosional mempertajam teorinya, Goleman mengadaptasinya menjadi 5 unsur kecerdasan emosional, yaitu: 1) Kemampuan mengenali emosi diri (kesadaran diri),
2) Kemampuan mengelola emosi diri (pengaturan diri), 3) Kemampuan memotivasi diri sendiri, 4) Kemampuan mengenali emosi orang lain (empati), dan 5) Kemampuan berinteraksi sosial.57
1)   Kemampuan mengenali emosi diri (kesadaran diri)
Kesadaran diri adalah kemampuan untuk mengenal dan memilah-milah perasaan, memahami hal yang sedang kita  rasakan dan mengapa hal itu kita rasakan, dan mengetahui penyebab munculnya perasaan tersebut.58
Kemampuan mengenali emosi diri sendiri (kesadaran diri) merupakan pondasi utama dari semua unsur-unsur emotional intelligence sebagai langkah awal yang penting  untuk  memahami  diri dan berubah menjadi lebih baik. Mengenali  emosi  diri  sangat erat kaitannya dengan kemampuan untuk mengenali perasaan diri
ketika perasaan itu timbul, dan merupakan hal penting bagi pemahaman kejiwaan secara mendalam. Para ahli psikologi menyebutkan kesadaran diri sebagai metamood, yakni kesadaran seseorang akan emosinya sendiri.
Ada tiga kemampuan yang merupakan ciri-ciri mengenali emosi diri sendiri (kesadaran diri), yaitu: a) Kesadaran emosi, yaitu mengenali emosi diri dan mengetahui pengaruh emosi itu terhadap kinerjanya. b) Penilaian diri secara teliti, yaitu mengetahui kelebihan dan kekurangan diri dan mampu belajar dari pengalaman. c) Percaya diri, yaitu keberanian yang datang dari keyakinan diri terhadap harga diri dan kemampuan sendiri.59
1)   Kemampuan mengelola emosi diri (pengaturan diri)
Mengelola emosi merupakan kemampuan individu dalam menangani perasaan agar dapat terungkap dengan tepat atau selaras, sehingga tercapai keseimbangan dalam diri individu.60
Kemampuan mengelola emosi akan berdampak positif terhadap pelaksanaan tugas, peka terhadap kata hati dan sanggup menunda kenikmatan sebelum tercapainya suatu sasaran,  serta  mampu memulihkan kembali dari tekanan emosi.61
Ada lima kemampuan utama yang merupakan ciri-ciri mengelola emosi (pengendalian diri), yaitu: a) Kendali diri, yaitu menjaga agar emosi dan impuls yang negatif tetap terkendali. b)  Dapat dipercaya, yaitu menunjukkan integritas dan kejujuran. c) Kewaspadaan, yaitu dapat diandalkan dan bertanggung jawab dalam memenuhi kewajiban. d) Adaptasi, yaitu keluwesan dalam menghadapi tantangan dan perubahan. e) Inovasi, yaitu bersikap terbuka terhadap gagasan-gagasan, pendekatan-pendekatan dan informasi baru.
1)   Kemampuan memotivasi diri sendiri
Motivasi menjadi faktor kunci yang menentukan beragam tingkat keberhasilan orang. untuk sebagian orang, motivasi  datang dari sumber eksternal seperti: dukungan  kawan,  pengakuan, tambahan pendapatan atau apa pun. Untuk sebagian yang lain, motivasi datang dari sumber internal, yakni berupa kepuasan hati mereka sendiri saat pekerjaan dapat dilakukan dengan baik. Sebagian besar orang termotivasi oleh kedua sumber itu, internal maupun eksternal, dengan proporsi yang berbeda. Dari manapun sumbernya, motivasi itu penting untuk mengekspresikan kecerdasan dan meraih keberhasilan. Secara keseluruhan, motivasi yang  terlahir  karena faktor internal mungkin lebih baik daripada yang eksternal, karena sumber motivasi eksternal tersebut cenderung bersifat sementara. Akibatnya, orang-orang yang terutama termotivasi secara eksternal sepertinya kehilangan motivasinya ketika  sumber-sumber penghargaan eksternal menurun atau hilang. Individu-individu yang termotivasi secara internal mampu menjaga motivasinya dari  pengaruh naik dan turunnya penghargaan.62
Ada empat kecakapan utama dalam kemampuan memotivasi diri sendiri dan orang lain, yaitu: a) Dorongan berprestasi, yaitu dorongan untuk menjadi lebih baik atau memenuhi standar keberhasilan. b) Komitmen, yaitu menyelaraskan diri dengan sasaran kelompok/ lembaga. c) Inisiatif, yaitu kesiapan untuk memanfaatkan kesempatan. d) Optimis, yaitu kegigihan dalam memperjuangkan sasaran meskipun ada halangan dan kegagalan.63
1)   Kemampuan mengenali emosi orang lain (empati)
Kemampuan untuk menyadari, memahami, dan menghargai perasaan dan pikiran orang lain. Empati adalah “menyelaraskan diri” (peka) terhadap apa, bagaimana, dan latar belakang perasaan dan pikiran orang lain sebagaimana orang tersebut merasakan dan memikirkannya. Bersikap empatik artinya mampu “membaca orang lain dari sudut pandang emosi”.64
Memposisikan diri pada tempat orang lain memang tidak mudah, namun perlu jika anda memiliki rasa kasih  kepada  orang  lain. Memahami orang lain, memperhatikan mereka,  itu  berarti bahwa kita membutuhkan waktu untuk mendengarkan sebagai hal yang dapat mempererat ikatan persahabatan dan menunjukkan kesediaan untuk membantu.65
Menurut Daniel Goleman ciri-ciri dari empati meliputi: a) Memahami orang lain, yaitu memahami perasaan dan perspektif  orang lain dan menunjukkan minat aktif terhadap  kepentingan mereka. b) Orientasi pelayanan, yaitu mengenali dan berusaha memenuhi kebutuhan orang lain. c) Mengembangkan orang  lain,  yaitu merasakan kebutuhan orang lain untuk mengembangkan dan meningkatkan kemampuan mereka. d) Mengatasi keragaman, yaitu menumbuhkan keragaman melalui pergaulan dengan banyak orang.
e) Kesadaran politik, yaitu mampu membaca arus-arus emosi sebuah kelompok dan hubungannya dengan kekuasaan.66
2)   Kemampuan berinteraksi sosial
Interaksi sosial dapat dipahami sebagai kemampuan untuk mengelola emosi dengan baik ketika berhubungan dengan orang lain. Seseorang dengan kemampuan ini pandai merespon tanggapan oarang lain sesuai dengan yang dikehendaki, orang yang tidak memiliki keterampilan ini akan dianggap angkuh, sombong, tidak berperasaan dan akhirnya akan dijahui orang lain.
Adapun ciri-ciri dari keterampilan sosial ini yaitu: a)  Pengaruh, yaitu keterampilan menggunakan perangkat  persuasi  secara aktif untuk mempengaruhi orang lain kearah yang positif. b) Komunikasi, yaitu mendengarkan secara  terbuka  dan  mengirim pesan secara lugas, padat dan meyakinkan. c) Manajemen konflik, yaitu merundingkan dan menyelesaikan ketidaksepakatan. d) Kepemimpinan, yaitu mengilhami dan membimbing individu atau kelompok. e) Katalisator perubahan, yaitu mengelola dan mengawali perubahan. f) Kolaborasi dan kooperasi, yaitu bekerja bersama orang lain menuju sasaran bersama. Keterampilan ini meliputi kecakapan seseorang dalam menyeimbangkan pemusatan perhatian, kolaborasi, mempromosikan kerjasama yang bersahabat, dan menumbuhkan peluang-peluang untuk kolaborasi. g) Kemampuan tim, yaitu menciptakan sinergi dalam upaya meraih sasaran kolektif. Orang dalam kecakapan ini mampu menjadi teladan dalam tim, mendorong setiap anggota agar berpartisipasi secara aktif, dan membangun identitas tim dengan semangat kebersamaan dan komitmen.67

REFERENSI
44 Lawrence E. Shapiro, Mengajarkan Emotional Intelligence Pada Anak,terj. Alex Tri Kantjono, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm. 5.

45 Muhammad Said Mursi, Melahirkan Anak Masya Allah, Sebuah Terobosan Dunia Pendidikan Modern, (Jakarta: Cendekia, 1998), hlm. 207.

46 Patricia Patton, EQ-Pengembangan Sukses Lebih Bermakna, terj. Hermes, (Mitra Media, 2002), hlm. 61.
47 Triantoro Safaria, Manajemen Emosi, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2009) hlm. 12.
48 Rochelle Semmel Albin, Emosi – Bagaimana Mengenal Menerima Dan Mengarahkannya, terj. Brigid, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1986) hlm. 11
49 Steven J. Stein & Howard E. Book, Ledakan EQ, ter. Trinanda Rainy Januarsari & Yudhi Murtanto, (Bandung: Kaifa, 2003), hlm. 30
50 John D Mayer, Peter Salovey, “The Intelligence of Emotional Intelligence”, dalam http://psycnet.apa.org/03052008/p.html.html, diakses 1 Oktober 2012.
51 Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual, (Jakarta: Penerbit Arga, 2001), hlm. 44

52 Steven J. Stein, Ledakan EQ, terj. Trinanda Rainy Januarsari & Yudhi Murtanto, (Bandung: Kaifa, 2003), hlm. 30-31.
53 Daniel Goleman, Emotional Intelligence: Mengapa EI Lebih Penting Dari Pada EQ,
terj. Hermaya, (Jakarta: Gramedia, 1996), hlm. 36.
54 Amaryllia Puspasari, Emotional Intelligent Parenting, (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2009) hlm. 4
55 Jeanne Segal, Meningkatkan Kecerdasan Emosional, terj. Dian Paramesti Bahar, (PT. Citra Aksara, 1999), hlm. 2.
56 Lawrence E. Shapiro, Mengajarkan Emotional Intelligence Pada Anak, terj. Alex Tri Kantjono, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm. 9-10.

57 Daniel Goleman, Kecerdasan Emosi Untuk Mencapai Puncak Prestasi, terj. Alex Tri Kantjono, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005), hlm. 39
58 Steven J. Stein, Ledakan EQ, hlm. 73
59 Daniel Goleman, Kecerdasan Emosi Untuk Mencapai Puncak Prestasi, hlm. 42.
60 Daniel Goleman, Kecerdasan Emosi Untuk Mencapai Puncak Prestasi, hlm. 58.
61 M. Utsman Najati, Belajar EQ dan SQ dari Sunah Nabi, terj. Irfan Sahir Lc. (Jakarta: Hikmah, 2002), hlm. 166.

62 Robert J. Sternberg, Mengajarkan Kecerdasan Sukses Meningkatkan Pembelajaran & Keberhasilan Siswa, terj. Gun Mardiatmoko, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 142.
63 Daniel Goleman, Kecerdasan Emosi Untuk Mencapai Puncak Prestasi, hlm. 43.

64 Steven J. Stein, Ledakan EQ, hlm. 139.
65 Patricia Patton, EQ-Pengembangan Sukses Lebih Bermakna, hlm. 159.
66 Daniel Goleman, Kecerdasan Emosi Untuk Mencapai Puncak Prestasi, hlm. 219.

Back To Top